Makna Seket (50) dalam filosofi Jawa

Romo Guru KRA Suryaningrat II bersama
Nini Kartika (isteri) dan ketiga puteranya
Dalam masyarakat jawa, angka 50 merupakan salah satu angka yang unik dan istimewa, khususnya penyebutannya dalam bahasa jawa. Jika diurutkan misal dari angka 30 disebut telungpuluh, angka 40 : patangpuluh, angka 50 harusnya limangpuluh, tetapi mengapa dinamakan seket ?

Seket mempunyai arti se-iket = mengikat. Seperti fungsi tali yang mengikat sebuah sapu yang terdiri dari banyak lidi. Meskipun Sapu lidi yang berfungsi untuk menyapu adalah ujung dari kumpulan lidi-lidi tersebut, namun tanpa ada tali yang mengikat maka tidak akan dapat berfungsi secara baik dan benar.

Hal tersebut dijelaskan oleh Pembina Perguruan Trijaya Padepokan Argasonya Pusat Tegal, Romo Guru KRA Suryaningrat II dalam acara Pengetan Ambal Warsa kaping 50, Romo Guru KRA Suryaningrat II, di Padepokan Wulan Tumanggal, Kabupaten Tegal, Minggu (6/5).

Lebih lanjut Romo Guru menjelaskan, pada saat manusia mencapai usia 50 (seket), kemampuan untuk bisa mengikat harus didasari dengan rasa persaudaraan. Dan persaudaraan yang sejati bisa diwujudkan dengan didasari rasa Katresnan (cinta kasih) yang Satuhu (sungguh-sungguh/dengan sepenuh hati). Maka dari itu kami (Perguruan Trijaya) menyebut tahun 2018 ini sebagai tahun PERKASA, yaitu PERsaudaraan, KAtresnan dan SAtuhu.

Peringatan Ambal Warsa ke 50 Pembina Perguruan Trijaya tersebut dihadiri beberapa tamu undangan dari instansi terkait, tokoh masyarakat, teman/kerabat Romo Guru, dan para Putera serta keluarga Perguruan Trijaya.

Diantara tamu yang hadir, Kainfolahtadam Kodam IV Diponegoro, Kol. Inf. Jefson Marisano, S.IP. Kasubbag Pendidikan Kebudaayaan dan Perpustakaan Biro Kesra Setda Prov. Jateng, Eny Haryanti, S.Pd. M.Pd. dan Pengurus Komite Seni dan Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah Ki Aji (Akso Prabu Wisnu Aji) yang juga sesepuh di Peguyuban Manengku Semarang.

Radit (organ), saat berkolaborasi dengan
Sanggar chisai Cirebon
Acara ini dimeriahkan beberapa tampilan kesenian, diantaranya tari dayak dari sanggar Lunuk Ramba Palangkaraya, Goup band Sanggar Chisai Cirebon, dan Kang Erlan n team dari Bandung. Untuk alunan musik, selain diiringi mas Herjuno solo organ, musik etnik pun ditampilkan secara apik oleh Kumakami Arumba Ethnic Music dari Bandung.

Putera bungsu Romo Guru, Elang Rahdite Paksi (Radit) juga menyumbangkan kepiawainnya dalam memainkan organ, yang berkolaborasi dengan Sanggar Chisai Cirebon.

Diakhir acara, ada pemberian cinderamata dari tokoh masyarakat Tegal, Dr. Bimo dan Bp. Sunyoto kepada Romo Guru. Cinderamata tersebut berupa album foto yang berisi foto-foto Romo Guru yang dikumpulkan sendiri oleh beliau berdua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunjungan AK Perjalanan Kota Bekasi di Padepokan Wulan Tumanggal

Berkah Tahun Baru untuk warga sekitar Padepokan Wulan Tumanggal